Rabu, 27 Mei 2015

PARADIGMA PENELITIAN



MAKALAH
PARADIGMA PENELITIAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Kuantitatif
 Yang  di bimbing oleh Bpk. Dr. H. Mundir, M.Pd, 


Hasil gambar untuk iain jember

Oleh Kelompok 6:
Hikmatul Qomariyah              (0841220)
Muhammad Sanusi                 ()
Ulva Nurmala Sari                  (084122069)


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER

 
MARET 2015


BAB II

PEMBAHASAN


A.    Paradigma dalam Penelitian


Apabila seseorang melakukan penelitian, maka disadari atau tidak dia telah memiliki cara memandang terhadap suatu obyek, masalah, atau peristiwa yang sedang diteliti. Di dalam dirinya telah terbentuk suatu kepercayaan yang didasarkan pada asumsi – asumsi tertentu yang menurut Guba (dalam Moleong, 2005: 48) dinamakan aksioma atau paradigma. Lalu apa yang dinamakan paradigma ?[1]

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.[2]
Moleong (2005:49) mendeskripsikan definisi paradigma dengan mengutip pendapat para pakar. Menurut Bogdan dan Biklen (1982), paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berfikir dan penelitian. Harmon ( 1970), mendefinisikan paradigma sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berfikir, menilai, dan melakukan yang terkait dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas. [3]
Paradigma penelitian merupakan dasar pijakan untuk mencermati hakikat fenomena atau gejala alam semesta, yang dapat di pandang sebagai realitas tunggal, dan dapat pula dipandang sebagai realitas ganda (jamak). Pandangan pertama mengembangkan pola pikir positivistik yang melahirkan paradigma ilmiah yang lazim diikuti oleh penelitian kuantitatif. Sedangkan pandangan kedua mengembangkan pola pikir fenomenologis dan melahirkan paradigma alamiah, yang lazim diikuti oleh penelitian kualitatatif. 
Licoln dan guba (dalam ratna, 2010:38, dan kasiram,2010:147) mendefinisikan paradigma sebagai sistem anggapan dasar, pandang dunia yang mengarahkan penelitian dalam menentukan metologi dan kerangka ontologisnya, paradigma adalah system kepercayaan/keyakinan dasar atau pandangan dunia yang membimbing peneliti, tidak hanya dalam pilihan metode tetapi dalam aspek ontologis dan epistimologis. Paradigma adalah system kepercayaan/keyakinan dasar yang didasarkan pada asumsi-asumsi ontologis, epistimologis, dan metodologis.[4]
Dengan demikian, menurut Lincoln dan Guba, sebuah paradigma penelitian harus memuat tiga elemen pokok, ontologis, epistimologis, dan metodologis, peneliti akan menentukan sikap dan perlakuan terhadap sebuah gejala atau fakta dari fenomena, peristiwa atau masalah (kasiram, 2010:147). Apabila peneliti memperlakukan sebuah gejala atau peristiwa tersebut sebagai gejala ganda, jamak, atau bahkan sebagai rangkaian kausalitas, lalu mengukurnya, menghitung, dan memberi skor padanya, atau bahkan menguji hipotesis yang dirumuskannya, maka penelitian kuantitatiflah yang tepat dijadikan sebagai model penelitian. Sementara itu apabila ia ingin memperlakukannya sebagai gejala tunggal, ingin menggali lebih dalam makna yang tersembunyi di balik gejala atau peristiwa tersebut, maka penelitian kuantitatiflah yang tepat dijadikan sebagai model penelitian.
B.  Konsekwensi Metodologis
Perlakuan peneliti terhadap sebuah gejala atau fenomena sebagai dampak dari paradigma yang dipilih akan berdampak secara metodologis terhadap pendekatan (rancangan) penelitian, pendekatan (rancangan) penelitian akan berdampak pada metodologi penelitian.
Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan tentang pengertian paradigma penelitian, yaitu system anggapan dasar, pandangan dunia yang mengarahkan peneliti dalam menentukan metodologi dan kerangka ontologisnya, yaitu bagaimana peneliti melihat hakikat fenomena yang di hadapi, apakah fenomena itu dipandang sebagai realitas tunggal atau sebagai realitas ganda.[5]
Konsekwensi dari kedua pandangan tersebut berbeda satu sama lain. Apabila realitas, maka realitas itu dipandang  sebagai realitas tunggal, maka realitas itu bisa dipisahkan dengan realitas yang lain dan dengan demikian masing – masing dapat diteliti sendiri – sendiri secara konkrit dan obyektif. Untuk itu diperlukan pola pikir yang cocok yakni logika berpikir positivistik.
Demikian juga apabila realitas itu dipandang sebagai realita ganda, maka realitas itu tidak bisa dibagi – bagi menjadi bagian – bagian yang terpisah satu sama lain, akan tetapi harus diberlakukan sebagai suatu kebulatan, yang utuh, yang holistic, seperti yang berjalan secara alamiah, tanpa rekayasa. Untuk itu diperlukan juga pola pikir yang cocok yaitu pola pikir fenomenologis. Pola pikir yang dipilih ini kemudian menjadi dasar pendekatan epistemology dari ilmu yang di kembangkan.[6]
Paradigma ini berdampak pada jenis pendekatan, yaitu cara mendekati objek sehingga karya budaya, sebagai struktur makna, dapat diungkap secara jelas. Kata lain yang sepadan dengan pendekatan adalah kata penghampiran, perspektif, titik pijak, dimensi, dan kaca mata (Ratna, 2010: 45). Pendekatan pada akhirnya berdampak pada metodologi. Metodologi yang dimaksud bukan sekedar ilmu tentang  metode, melainkan sebuah prosedur ilmiah yang didalamnya termasuk pembentukan konsep, proposisi, model, hipotesis, teori, dan termasuk metode itu sendiri (Ratna, 2010:41).
 Paradigma memang banyak, namun yang mendominasi dalam ilmu pengetahuan ada dua, yaitu paradigma ilmiah (scientific paradigm) dan paradigma alamiah (naturalistic paradigma) (Moleong, 2005:50). Paradigma ilmiah lazim digunakan oleh peneliti yang bertujuan ingin menguji hipotesis, sedangkan paradigma alamiah lazim digunakan oleh peneliti yang bertujuan untuk memahami sebuah fakta atau fenomena secara mendalam, bahkan bila mungkin sampai menemukan makna dibalik fakta atau fenomena tersebut. Tujuan yang telah dirumuskan oleh peneliti, baik dalam penelitian penelitian kuantitatif maupun kualitatif, akan lebih jelas apabila didasari oleh pengetahuan tentang perbedaan aksioma (yaitu suatu pernyataan yang diterima sebagai kebenaran dan bersifat umum, tanpa memerlukan pembuktian) antara paradigma ilmiah dan paradigma alamiah.  [7]  

 1.   Paradigma kuantitatif:

Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang  dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).[8]
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)  yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1) obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan (3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas).
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. [9]
Dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization).  Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai  adanya “keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.
2.  Paradigma Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.[10]
Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku.
Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya.
Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.[11]
Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
3.  Perbedaan Paradigma Kuantitatif-Kualitatif
Bertolak dari perbedaan-perbedaan disebut di atas, dapat dicatat berbagai perbedaan paradigma yang cukup signifikan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif. Seperti dikemukakan sebelumnya, penelitian kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik dengan penelitian kualitatif. Secara garis besar, perbedaan dimaksud mencakup beberapa hal:
a)      Kuantitatif
  • 1.  Positivistik
  • 2.  Deduktif-Hipotetis
  • 3.  Partikularistik
  • 4.  Obyektif
  • 5.  Berorientasi kpd hasil
  • 6.  Menggunakan pandangan ilmu pengetahuan alam
b)     KUALITATIF
  • 1.  Fenomenologik
  • 2.  Induktif
  • 3.  Holistik
  • 4.  Subyektif
  • 5.  Berorientasi kpd proses
  • 6.  Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological[12]
Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai berikut:
c)      Paradigma Kuantitatif
  1. Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam penarikan sampel.
  2. Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di dalamnya.
  3. Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).
  4. Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.
  5. Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.
  6. Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).
  7. Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).
  8. Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu ditekankan pada pembuatan generalisasi.
  9. Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik. [13]
d)     Paradigma Kualitatif
  1. Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun dalam proses analisisnya.
  2. Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap gejala (fenomenologis).
  3. Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa pengaturan yang ketat).
  4. Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam”.
  5. Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau hipotesis.
  6. Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.
  7. Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.
  8. Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular, sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi otensitasnya.
  9. Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi pada variabel tertentu).[14]
C.     Kerangka Berfikir kualitatif dan Kuantitatif[15]
Menurut Servaes (1993), kerangka berpikir merupakan frame of meaning. Menurut Guba (1994), kerangka berpikir ialah a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles... a word of view that defines, for its holder, the nature of world . Singkatnya, kerangka berpikir merupakan sudut pandang atau kerangka makna yang berisi landasan filosofis (ontologis, epistemologis, dan aksiologis) terhadap suatu realitas.
Kerangka berfikir adalah titik tolak berfikir logika penelitian yang anggapan dasarnya diterima oleh peneliti. Kerangka berfikir merupakan  pijakan atau dasar dalam menyelesaikan masalah yang akan diteliti. Seorang peneliti harus melakukan berbagai kegiatan sebelum menentukan kerangka berfikir, seperti banyak membaca buku atau literature yang relevan, banyak mendengarkan berita-berita yang mendukung abstraksi bagi perbendaharaannya. Jadi kerangka berfikir yang baik harus didukung dengan studi pustaka untuk menguatkan teori yang mendukung penyelesaian masalah dalam penelitian.[16]
Kerangka berpikir kualitatif memandang bahwa empiris itu dikonstruksi secara sosial, yakni berdasarkan kesepakatan (lihat Berger & Luckmann, 1966). Sementara itu, metode ialah implementasi operasional dari epistemologis. Dalam tradisi penelitian kualitatif, seringkali kedua hal tersebut tak dibedakan secara tegas dan hanya disebut sebagai metode penelitian kualitatif.[17]
Jadi, jika disebut metode menelitian (riset) kualitatif, sebenarnya mencakup sebuah cara pandang atau pemaknaan terhadap empiris yang  dikonstruksi secara sosial berdasarkan kesepakatan subjektif. Oleh sebab itu, "objektivitas” hasil riset kualitatif bergantung pada nilai subjektivitas orang  yang  mengkonstruksi realitas.
Kualitatif sebagai sifat data seringkali disebut data kualitatif yang  hakikatnya berisi uraian, narasi, atau pelukisan yang hampir terhindar dari jumlah-kali-bagi, frekuensi atau persentase. Sebagai sebuah bandingan dengan data kuantitatif yang menunjukkan data statistik jumlah, persen, atau frekuensi.
Dalam suatu realitas, penelitian kualitatif ini melihat suatu objek atau empiris itu sebagai sesuatu yang dinamis, hasil konstruksi pemikiran dan interprestasi terhadap gejala yang diamati, serta utuh sebab setiap aspek dari objek itu mempunyai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Di dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti itu sebagai human instrument dan dengan teknik pengumpulan data observasi berperan serta, dan wawancara mendalam, maka peneliti harus berinteraksi dengan sumber data. Dengan begitu, peneliti kualitatif harus mengenal betul orang yang memberikan data.
Selain itu, metode penelitian kualitatif dalam melihat interaksi antar variabel pada objek yang diteliti lebih bersifat interaktif, yaitu saling mempengaruhi, sehingga tak diketahui mana variabel inpedennya dan dependennya.
Kerangka berpikir atau kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian kuantitatif, sangat menentukan kejelasan dan validitas proses penelitian secara keseluruhan. Melalui uraian dalam kerangka berpikir, peneliti dapat menjelaskan secara komprehensif variabel-variabel apa saja yang diteliti dan dari teori apa variabel-variabel itu diturunkan, serta mengapa variabel-variabel itu saja yang diteliti. Uraian dalam kerangka berpikir harus mampu menjelaskan dan menegaskan secara komprehensif asal-usul variabel yang diteliti, sehingga variabel-variabel yang tercatum di dalam rumusan masalah dan identifikasi masalah semakin jelas asal-usulnya.
Pada dasarnya esensi kerangka pemikiran berisi: (1) Alur jalan pikiran secara logis dalam menjawab masalah yang didasarkan pada landasan teoretik dan atau hasil penelitian yang relevan. (2) Kerangka logika (logical construct) yang mampu menunjukan dan menjelaskan masalah yang telah dirumuskan dalam kerangka teori. (3) Model penelitian yang dapat disajikan secara skematis dalam bentuk gambar atau model matematis yang menyatakan hubungan-hubungan variabel penelitian atau merupakan rangkuman dari kerangka pemikiran yang digambarkan dalam suatu model. Sehingga pada akhir kerangka pemikiran ini terbentuklah hipotesis.
Dengan demikian, uraian atau paparan yang harus dilakukan dalam kerangka berpikir adalah perpaduan antara asumsi-asumsi teoretis dan asumsi-asumsi logika dalam menjelaskan atau memunculkan variabel-variabel yang diteliti serta bagaimana kaitan di antara variabel-variabel tersebut, ketika dihadapkan pada kepentingan untuk mengungkapkan fenomena atau masalah yang diteliti.[18]




[1] Dr.H.Mundir,M.Pd. MetodePenelitian Kuantatif dan Kualitatif. 2013.STAIN Jember Press:Jember (22)
[2] http://gioakram13.blogspot.com. (09/03/2015: 09.37 PM)
[3] Dr.H.Mundir,M.Pd. MetodePenelitian Kuantatif dan Kualitatif. 2013.STAIN Jember Press:Jember (22)
[4] Dr.H.Mundir,M.Pd. MetodePenelitian Kuantatif dan Kualitatif. 2013.STAIN Jember Press:Jember (22-23)
[5] Dr.H.Mundir,M.Pd. MetodePenelitian Kuantatif dan Kualitatif. 2013.STAIN Jember Press:Jember (23)
[6] Prof.H.Moh.Kasiram, M.Sc. Metodologi Penelitian. 2008.UIN MALIKI PRESS:Malang (51)
[7] Dr.H.Mundir,M.Pd. MetodePenelitian Kuantatif dan Kualitatif. 2013.STAIN Jember Press:Jember (24)
[8] http://gioakram13.blogspot.com (09/03/2015: 09.37 PM)
[9] http://gioakram13.blogspot.com (09/03/2015: 09.37 PM)
[10] http://gioakram13.blogspot.com (09/03/2015: 09.37 PM)
[11] http://gioakram13.blogspot.com (09/03/2015: 09.37 PM)
[12] http://gioakram13.blogspot.com (09/03/2015: 09.37 PM)
[13] http://gioakram13.blogspot.com (09/03/2015: 09.37 PM)
[14] http://gioakram13.blogspot.com (09/03/2015: 09.37 PM)
[15] http://www.binasyifa.com/ (10/03/2015: 06.34 AM)
[16]Drs. H. Subana, M.Pd. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. 2001.CV Pustaka Setia:Bandungr (73)
[17] Drs. H. Subana, M.Pd. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. 2001.CV Pustaka Setia:Bandungr (15)
[18] http://sambas.staf.upi.edu (10/03/2015 : 3.01 PM)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar