PENGERTIAN BELAJAR BESERTA TEORI-TEORI ALIRANNYA
PEMBAHASAN
A. Pengertian Belajar Menurut Beberapa Pakar
Masalah
pengertian belajar ini, para ahli psikologi pendidikan mengemukakan rumusan
yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing.Tentu saja
mereka mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berikut
ini merupakan pendapat para pakar, sebagai berikut:
1.
James
O. Whittaker, misalnya,
merumuskan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah
melalui latihan atau pengalaman.
2.
Cronbach
, berpendapat bahwa belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan
oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
3.
Howard
L. Kingskey, mengatakan
bahwa belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan
atau diubah melalui praktek atau latihan.
4.
Drs.
Slameto juga merumuskan pengertian tentang
belajar. Menurutnya belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Dari beberapa
pendapat para ahli tentang pengertian belajar yang dikemukakan diatas dapat
dipahami bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan
dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan
dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. [1]
B. Teori Belajar Aliran Humanistik
Perhatian psikologi humanistis yang uatama
tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan
dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman
mereka sendiri.Menurut pakar aliran humanistic penyusunan dan penyajian materi
pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.
Tujuan utama pendidik ialah membantu
siswa mengembangkan dirinya,yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka.[2]
Dari keempat teori
belajar,teori humanistik inilah yang
paling abstrak,yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia
pendidikan.Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya isi dari proses
belajar,dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan
proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.Dengan kata lain,teori ini
lebih tertarik padaide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada
belajar seperti apa adanya,seperti yang biasa kita amati dalam dunia
keseharian.Wajar jika teori ini bersifat
elektrik.Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan
manusia”(mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu) dapat tercapai.
Berikut tokoh- tokoh humanistik ynag
menonjol masing-masing pendapatnya akan dibahas berikut ini.
1.
Bloom dan kwarthwohl
Dalam hal ini Bloom dan kwarthwohl
menunjukkan apa yang mungkin dikuasai(dipelajari) oleh siswa,yang tercakup
dalam tiga kawasan berikut.
a)
Kognitif
mencakup pengetahuan,pemahaman,aplikasi,analisis,sintesis,dan evaluasi.
b)
Psikomotorik
mencakup Peniruan,penggunaan,ketepatan,perangkaian, dan naturalisasi.
c)
Afektif
Mencakuppengenalan,merespon,penghargaan,pengorganisasian, dan pengalaman.
Taksonomi Bloom ini berhasil member inspirasi kepada banyak pakar lain
untuk mengembangkan teori-teori belajar
dan pembelajaran.Dalam tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak
dalam bahasa yang mudah dipahami,operasional,serta dapat dikukur.
2.
Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi
empat tahap,yaitu:
a) Pengalaman konkret,pada proses belajar tahap ini,seorang siswa hanya mampu
sekedar ikut mengalami suatu kejadian.Dia belum mempunyai kesadaran tentang
hakikat kejadian tersebut.Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu.Inilah yang terjadi pertama pada proses
belajar.
b) Pengamatan aktif dan reflektif, pada tahap ini siswa tersebut lambat laun
mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu,serta mulai berusaha
memikirkan dan memahaminya.Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap
pengamatan aktif an reflektif.
c)
Konseptualisasi, siswa
mulai belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang suatu hal yang pernah
diamatinya. Pada tahap ini,diharapkan siswa sudah mampu untuk membuat
aturan-aturan umum (generalisai) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun
tampak berbeda-beda,tetapi memiliki landasan aturan yang sama.
d)
Eksperimentasi
aktif,siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang
baru.Dalam dunia matematika misalanya,siswa tidak hanya memahami asal usul
sebuah rumus tersebut untuk memecahkan suatu maslah yang belum pernah ia
ditemui sebelumnya.
Menurut Kolb siklus belajar semacam itu terjadi secara
berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa.Dengan kata lain,meskipun dalam teorinya kita
mampu menbuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap yang alin,namun dalam praktek peralihan
dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali terjadi begitu saja,sulit kita tentukan
kapan beralihnya.
3.
Honey dan Mufrord
Berdasarkan teori kolb,Honey dan Murford membuat penggolongan
siswa.Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa,yakni: aktivis,reflector,teoris,dan
pragmatis.
Ciri siswa yang bersifat aktivis adalah mereka yang suka
melibaatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru.Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah
diajak berdialog.Namun,siswa semacam ini biasanya kurang skeptic terhadap
sesuatu.Ini kadangkala identik dengan sifat mudah percaya.Dalam proses belajar,mereka
menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan
hal-hal baru,misalnya brainstorming atau program solving.Akan tetapi,mereka
cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam
implementasi.
Untuk siswa yang bersifat reflector,sebaliknya cenderung sangat
hati-hati mengambil langkah.Dalam proses pengambilan keputusan,siswa jenis ini
cenderung konservatif,dalam arti mereka lebih suka menimbang nimbang secara
cermat,baik buruk suatu keputusan.
Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis,senang
menganalisis,dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang bersifat
subjektif.Bagi mereka berpikir secara rasional adalah suatu yang sangat
penting.Mereka biasanya juga sangat skeptis
dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.
Untuk siswa yang bersifat pragmatis biasanya menaruh perhatian
besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal.Teori memang penting,kata
mereka.Namun,apabila teori bisa dipraktikkan,untuk apa? Kebanyakan siswa dengan
tipe ini tidak suka berlaut-larutdalam memabahas aspek teoritis filosofis dari
sesuatu.Bagi mereka,sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa
dipraktikkan.
4.
Habermas
Alieran psikologi lain adalah hibermas yang dalam pandangannya
bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi,baik dengan lingkungan maupun
dengan sesame manusia.Dengan asumsi ini,Habermas mengelompokkan tipe belajar
menjadi tiga bagian,yaitu:
a)
Belajar
teknis (technical Learning)
b)
Belajar
praktis (Practical Learning)
c)
Belajar
emansipatoris (emancipatory learning).
Dalam belajar teknis,siswa belajar bagaimana
berinteraksi dengan alamsekellingnya.Mereka berusaha menguasai dan mengelola
alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
itu.
Dalam belajar praktis,siswa juga belajar berinteraksi,tetapi
pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dan
orang-orang di sekelilingnya.Pada tahap ini,pemahaman siswa terhadap alam tidak
berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan
manusia.Akan tetapi,pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika dan hanya
jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
Sedangkan dalam belajar emansipatoris,siswa berusaha mencapai
pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi)
cultural dari suatu lingkungan.Bagi Habermas,pemahaman dan kesadaran terhadap
transformasi cultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi,sebab
transformasi cultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang
paling tinggi.[3]
5.
Comb
Comb dan kawan-kawan menyatakan bahwa apabila kita ingin memahami
perilaku orang kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu.Apabila ingin mengubah keyakinan atau
pandangan orang itu,perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dari yang
lain.Comb dan kawan-kawan selanjutnya mengatakan bahwa perilaku buruk itu
sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.Apabila seorang guru
mengeluh bahwa siswanya tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu,ini
sesungguhnya berarti bahwa siswa itu tidak mempunyai motivasi untuk melakukan
sesuatu yang dikehendaki oleh garu itu.Apabila guru memberikan rekasi yang
positif.Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada learning,ialah:
a)
Pemerolehan
informasi baru
b)
“Personalisasi”
informasi ini pada individu.
Comb berpendapat bahwa banyak guru
membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa sisiwa mau belajar apabila subjek
matternya disususn dan disajikan sebagaimana mestinya.Padahal “arti” tidaklah
menyatu pada subjek matter itu,dengan kata lain individulah yang memberikan
arti tadi kepada subject matter itu.Sehingga yang penting adalah bagaimana
caranya membawa siswa untuk memperoleh “arti pada pribadinya” dari subject
matter itu,bagaimana siswa menghubungkan subject matter itu dengan
kehidupannya.
Comb memberikan lukisan “persepsi
diri” dan “persepsi dunia” seseorang seperti dua lingkaran(besar dan kecil)
yang bertitik pusat satu.Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan
lingkaran besar adalah “persepsi dunia”.Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari
“persepsi dri” makain besar pengaruhnya pada individu dan makin dekat
peristiwa-peristiwa “persepsi diri” makin besar pengaruhnya terhadap
perilakunya.Jadi hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri,makin
mudah hal itu terlupakan.
6.
Maslow
Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri kita ada dua
hal:
a)
Suatu
usaha yang positif untuk berkembang.
b)
Kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti
rasa takut untuk berusaha untuk berkembang,takut untuk mengambil
kesempatan,takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya .Tetapi
mendorong untuk maju kea rah keutuhan, keunikan diri, kearah berfungsinya semua
kemampuan, keaarah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu
juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslov membagi-membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh
hierarki.Bila seseorang telah dapat memengaruhi kebutuhan pertama,seperti
kebutuhan fisiologis,barulah dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di
atasnya,ialah lebutuhan mendapat rasa aman dan seterusnya.Hierarki kebutuhan
manusia menurut Maslov ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan
oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak.Ia mengatakan bahwa perhatian bahwa
perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar
siswa belum terpenuhi.
7.
Rogers
Dalam bukunya “Freedom to Learn”,ia menunjukkan sejumlah prinsip belajar
humanistic yang penting yaitu:
a)
Manusia
mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
b)
Belajar
yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c)
Belajar
yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
sendiri,dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d)
tugas-tugas
yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila
acaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e)
Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah,pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai
cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f)
Belajar
yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g)
Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu.
h)
Belajar
atas inisiatif sendri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya,baik perasaan
maupun intelek,merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan
lestari.
i)
Kepercayaan
terhadap diri sendiri,kemerdekaan,kreatifitas lebih mudah dicapai apabila
terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiru dan
penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j)
Belajar
yang paling berguna secara social di dalam dunia modern ini adaloah belajar
mengenai proses belajar,suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan
itu.[4]
C. Teori Belajar Aliran Sibernetik
Teori belajar jenis keempat, mungkin yang
paling baru dari semua teori belajar yang di kenal, adalah teori
sibernetik.Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu
informasi.Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi.
Sekilas, teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kogntif yang
mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori
sibernetik. Namun, yang lebih penting lagi adalah system informasi yang diproses.
Informasi inilah yang akan menentukan proses.
Asumsi lain dari teori sibernetik ini adalah bahwa tidak ada satu
proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua
siswa. Oleh karena itu, sebuah informasi mungkin akan di pelajari seorang siswa
dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama itu mungkin akan di
pelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Dalam
bentuknya yang lebih praktis, teori ini misalnya telah di
kembangkan oleh Landa (dalam pendekatan yang di sebut algoritmik dan
heuristik), Pask dan scott (dengan pembagian siswa tipe menyeluruh atau wholist
dan tipe serial atau serialist), atau pendekatan-pendekatan lain yang
berorientasi pada pengolahan informasi.
1.
Landa
Landa merupakan salah seorang ahli
psikologi yang beraliran sibernetik. Menurut Landa, ada dua macam proses
berpikir. Pertama di sebut proses berpikir algoritmk, yaitu proses
berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu. Jenis kedua
adalah cara berpikir heuristic, yakni cara berpikir divergen, menuju ke
beberapa target sekaligus.
Proses belajar akan berjalan dengan
baik jika apa yang hendak di pelajari itu atau masalah yang hendak di pecahkan
(atau dalm istilah yang lebih teknis yaitu system informasi yang hendak di
pelajari) di ketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat apabila di sajikan
dalam urutan teratur, linier, sekuensial, satu hal lebih tepat apabila di
sajikan dalam urutan teratur, linier, sekensial, satu hal lain lebih tepat
apabila di sajikan dalam bentuk “terbuka”
dan member keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Misalnya
agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus ini
di sajikan secara algoritmik. Alasannya adalah, sebuah rumus matematika
biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah ke
satu target tertentu. Namun, untuk memahami makna suatu konsep yang luas dan
banyak memiliki interpretasi (misalnya konsep “burung”), maka akan lebih baik
jika proses berpikir siswa di bombing kea rah yang “menyebar” (heuristik),
dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton,
dogmatis, dan linier.
2.
Past dan Scott
Ahli lain adalah yang pemikiranna
beraliran sibernetik adalah Pask dan Scott. Pendekata serialis yang di usulkan
oleh Pask dan scott sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir
menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heuristic. Cara berpikir
menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan langsung ke
gambaran lengkap sebuah system informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan
detail-detal yang ita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus,
baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.
Pendekatan yang berorientasi pada
pengelolaan informasi menekankan
beberapa hal seperti ingatan jangka pendek (short term memory),
ingatan jangka panjang (long termmemory), dan sebagainya, yang
berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan
informasi. Kita lihat pengaruh alira Neurobiologis sangat terasa disini. Namun,
menurut teori sibernetik ini, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin,
bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tetapi juga lingkungan
yang memengaruhi mekanisme itu pun perlu diketahui.[5]
D. Teori Belajar Aliran Konstruktivitif
1) Pengertian teori belajar Konstruktivitif
Teori
belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran
Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah
laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan
tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini,
kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan
oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam
diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan
menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia.
Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu juga
sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang
merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh
pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan,
sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan,
menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.
Perspektif
konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan
proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi
proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting.
Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai
upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.
Von
Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan)
kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu
berinteraksi dengan lingkungannya.[6]
Menurut para
penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang
berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk
membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi
baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman
yang telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain
atau dengan gurunya.[7]
Jadi,
menurut pendapat kami Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya.
2)
Konsep Teori Belajar Konstruktivisme menurut Para Ahli
a.
Teori
Belajar Konstruktivisme Kognitif menurut Jean Piaget
Teori
belajar konstruktivisme kognitif disumbangkan oleh Jean Piaget, yang merupakan
salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme. Yang
mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Pandangan-pandangan
Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar
akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif,
mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Belajar
menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi
proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah
hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi (membangun) yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil
dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui
proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan
makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam
setiap individu.[8]
Lebih
jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[9] Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak.
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:Sejak
kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema
(schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain
dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya,
ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan
kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur
kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang
berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang
dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi.
Asimilasi
adalah pemaduan data baru dengan
struktur kognitif yang ada. Atau proses kognitif di mana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau
pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses
kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru
dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi
tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skema melainkan perkembangan skema.
Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.[10]
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap
situasi baru. Dalam perjumpaan individu dengan lingkungan, akomodasi menyertai
asimilasi. Terkadang, ketika dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru,
seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang
telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok
dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan
akomodasi. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi
dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan
struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang
baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).[11]Sebagai
Contoh, seorang anak yang merasa sakit karena terpercik api. Berdasarkan
pengalamannya terbentuk skema kognitif pada diri anak tentang ”api”, bahwa api
adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan
demikian ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin
dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya
memasak dengan menggunakan api, atau ketika ayahnya merokok; maka skema
kognitif tersebut akan disempurnakan, bahwa api tidak harus dihindari akan
tetapi dimanfaatkan. Ketika anak melihat banyak pabrik atau industri memerlukan
api, kendaraan memerlukan api, maka skema kognitif anak semakin
berkembang/sempurna menjadi api sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia.
Hal
yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak
harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget
percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan
secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan
pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru
dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh
guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam
bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan
jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami
sesuatu.
2.
Teori Belajar Konstruktivisme Sosial menurut Lev Vygotsky
Secara
umum, pendekatan konstruktivisme sosial menekankan pada konteks sosial dari
pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontruksi secara bersama
(mutual). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk
mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan
pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman
bersama. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme
penting untuk perkembangan pemikiran murid.
Dari
Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individu ke kolaborasi,
interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivisme
Piaget, murid mengkonstruksi pengetahuan dengan menstransformasikan,
mengorganisasikan, dan mengorganisasi pengetahuan sebelumnya. Konstruktivisme
Vygotsky menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi
sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di
mana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/ketrampilan.
Maka bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting berkenaan dengan teori
konstruktivisme sosialnya, yaitu:
a)
Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam
komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai
kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,
b)
Zona of proximal development. Pendidik sebagai
mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya
membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Konstruktivisme
Vygoskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalam kognisi diarahkan memulai adaptasi intelektual dalam konteks sosial
budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan
teknik saling tukar gagasan antar individual. [12]
Salah
satu prinsip kunci yang diturunkan teori Konstruktivisme sosial adalah
penekanan pada hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky mengemukakan bahwa
siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih mampu. Berdasarkan teori ini dikembangkanlah pembelajaran kooperatif,
yaitu siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika
mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya.[13]
Selain
itu, Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya
memecahkan permasalahan, yaitu (1) Siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2)
Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) Siswa gagal meraih
keberhasilan. Jika siswa tidak mampu memecahkan masalahnya, maka guru/pendidik
harus menggunakan scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang
individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri.
Sumbangan
penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan
sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal
dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya.
Pengetahuan
dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog
dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi dalam hal ini pembelajar tidak hanya memerlukan akses
pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh
individu lain. Karena menurut teori ini bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam
penjelasan lain, mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi
antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.
3)
Hakikat Pembelajaran menurut Teori Belajar
Konstruktivisme
Dalam
hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses
pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun
konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh
karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa
sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan
yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk
membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir,
maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan
siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa
pun asal tujuan belajar dapat tercapai.[14]Ada
beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:
1.
Mencari tahu dan menghargai titik pandang/pendapat
siswa
2.
Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal
siswa
3.
Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa
4.
Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa
5.
Menilai hasil pembelajaran dalam konteks
pembelajaran sehari-hari
6.
Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus
belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh
dengan pengalaman/pengetahuan lama yang mereka miliki
7.
Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan.
Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara
terintegrasi
8.
Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama,
tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa
untuk mengingat pelajaran lebih lama
9.
Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada
siswa
10. Pendekatan
konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang
dialami langsung oleh siswa
Selanjutnya
ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1.
Pengetahuan Awal (Prerequisite),
2.
Fakta Dan Masalah,
3.
Sistematika Berfikir,
4.
Kemauan Dan Keberanian.
E.
Aplikasi Teori Dalam Pembelajaran
1)
Teori Humanistik
Bentuk aplikasi humanisme dalam pembelajaran berisi bagai mana cara
berupaya menggabungkan keterampilan dan informasi kognitif, dengan segi-segi
efektif, nilai-nilai dan prilaku antar pribadi. Sehubungan dengan itu dibawah
ini akan diterangkan beberapa program dalam aplikasi humanisme dalam
pembelajaran.
a.
Confluent
Education Cooperative Learning
Confluent Education Cooperative Learning adalah pendidikan yang
memadukan atau mempertemukan pengalaman-pengalaman afektif dengan belajar
kognitif di dalam kelas. Hal ini merupakan cara yang bagus sekali untuk
melibatkan para siswa secara pribadi di dalam bahan pelajaran.
b. Open Education
Open Education atau proses pendidikan terbuka adalah proses
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas
disekitar kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri.
c.
Cooperative Learning
Cooperative Learning atau belajar kooperatif merupakan fondasi yang
baik untuk menigkatkan dorongan berprestasi siswa. Menurut Slavin Cooperative
Learning mempunyai tiga karakteristik: 1) Siswa bekerja dalam tim-tim belajar
yang kecil (4-6 orang anggota), komposisi ini tetap selama berminggu-minggu. 2)
Siswa didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat
akademik atau dalam melakukan tugas kelompok. 3) Siswa diberi imbalan atau
hadiah atas dasar prestasi kelompok.
d.
Independent Learning
Independent Learning atau pembelajaran mandiri adalah proses
belajar yang menuntut murid menjadi subyek yang dapat merancang, mengatur,
menontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak
bergantung pada subyek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang
belajar yaitu murid, mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan
dipelajari siapa yang harus mempelajari suatu hal.
Kami mencontohkan pada pembelajaran kurikulum
2013. Disini siswa lebih berperan aktif dalam pembelajaran biasa diistilahkan
dengan student center, siswa yang mencari tahu dan memaparkan apa yang
dia tahu dari sebuah materi ataupun problem solving dalam KBM. Namun, bukan
berarti guru membiarkan siswanya sendiri akan tetapi guru berperan sebagai
pendamping yang nantinya meluruskan permasalahan pada pemikiran siswanya.
2) Teori Sibernetik
Sekilas,
teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kogntif yang mementingkan proses.
Proses memang penting dalam teori
sibernetik. Namun, yang lebih penting lagi adalah system informasi yang
diproses. Informasi inilah yang akan menentukan proses.
Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini misalnya
telah di kembangkan oleh Landa (dalam pendekatan yang disebut algoritmik dan
heuristik), Pask dan scott (dengan pembagian siswa tipe menyeluruh atau wholist
dan tipe serial atau serialist), atau pendekatan-pendekatan lain yang
berorientasi pada pengolahan informasi.[15]Pendekatan heuristik di sini artinya
“menyebar” maksudnya dalam memahami suatu konsep yang diharapkan tidak monoton.
Contohnya: Konsep tentang puasa di sini siswa diharapkan memberi tanggapan dari
berbagai sudut pandang pemikirannya masing, bukan hanya mendefinisikan puasa
itu hanya menahan lapar dan haus saja.
Sedangkan pendekatan wholist artinya “menyeluruh” maksudnya
pemikiran yang cenderung langsung pada gambaran lengkap suatu informasi.
Contohnya: Pembelajaran tentang sholat yang pada umumnya ditujukan untuk
memenuhi kewajiban seorang muslim, padahal di balik sholat banyak memiliki
hikmah tersendiri seperti melatih kedisiplinan, menyehatkan dalam setiap
gerakan sholat, menentramkan jiwa, dan lain-lain.
3) Teori Konstruktivitif
Teori ini memaparkan bahwa siswa mendapatkan ilmu
karena adanya pengetahuan yang telah terkonstruk dalam otaknya. Di sini siswa
bukan hanya memusatkan sumber belajarnya pada guru (teacher center), namun
siswa dapat mencari berbagai sumber yang lain untuk mendukung pemahaman secara
maksimal, walaupun lingkungan, teman, keluarga juga ikut andil dalam membangun pemikiran siswa.
Kami mencontohkan teori ini dalam Pembelajaran Baca
Kitab Kuning. Dalam belajar membaca kitab kita tidak bisa terpaku pada
pengajaran guru yang hanya sebentar, namun kita harus pandai-pandai
menyiasatinya dengan tekun belajar kepada teman sebaya ataupun tekun membaca
dan memaknainya. Dengan terkonstruksinya pemahaman awal tentang konsep dasarnya
maka kita akan jauh lebih mudah untuk mempelajarinya. Lebih menekankan pada Student
Center.
PENUTUP
Kesimpulan
1)
Pengertian Belajar menurut para pakar
Dari beberapa pendapat para ahli
tentang pengertian belajar yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa belajar
adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa
dan raga.
2)
Teori Belajar menurut Aliran Humanistik
Masalah yang utama lebih tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu
dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan
kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.Menurut
pakar aliran humanistic penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai
dengan perasaan dan perhatian siswa.
3)
Teori Belajar menurut Aliran Sibernetik
Teori belajar jenis keempat, mungkin yang paling baru dari semua teori
belajar yang di kenal, adalah teori sibernetik.Teori ini berkembang sejalan dengan
perkembangan ilmu informasi.Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan
informasi.
4)
Teori Belajar menurut Aliran Konstruktivitif
Belajar
menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi
proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah
hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi (membangun) yang dilakukan setiap individu.
5)
Aplikasi Pembelajaran dari Ketiga Teori
Teori humanistik dengan berbagai pendekatan,
antara lain: Confluent Education Cooperative
Learning, Open Education, Cooperative
Learning, dan Independent Learning. Teori Sibernetik dengan pendekatan Heuristik
dan Wholist. Sedangkan Teori Konstruktivitif mengutamakan student center.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Bahri, Syaiful. 2008. psikologi
belajar. Jakarta: PT.RINEKA CIPTA.
Uno, Hamzah B. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi
Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Dalyono, M. 2009. Psikologi Pendidikan.Jakarta:Rineka Cipta.
Suparno. 1997.Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan
Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.
Bambang Riadi, Teori Belajar Konstruktivisme dari Jean Piaget, dalam
http/www Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses pada hari jum’at, 21 Nopember
2014.
Hamzah, Teori Belajar
Konstruktivisme, dalam http/www. Teori Belajar Kostruktivisme. Diakses Pada
hari jum’at, 21
Nopember 2014.
Gredler ,Bell, E., Margaret. 1988. Buku
Petunjuk Belajar dan Membelajarkan,.Jakarta:
Depdiknas.
Santrock ,W., John. 2007. Psikologi
Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta:
Kencana.
Trianto.2009.Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif-Profresif.Jakarta:
Kencana Pranada Media Group.
[1]
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, psikologi belajar, (Jakarta: PT.RINEKA
CIPTA, 2008) 12-13
[2]
Drs.M.Dalyon,Psikologi Pendidikan(Jakarta:Rineka Cipta,2009),hal 43
[3]
Dr.Hamzah B.Uno,M.Pd.Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran(Jakarta:PT
Bumi Aksara,2008).hal 13-17
[4]Drs.M.Dalyon,Psikologi
Pendidikan.hal
44-48
[7]
Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi,
(Bandung: Pakar Raya, 2004), hal.
53.
[8]
Bambang Riadi, Teori Belajar Konstruktivisme dari Jean Piaget, dalam http/www
Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses pada hari jum’at, 21 Nopember 2014.
[9]Hamzah,
Teori Belajar Konstruktivisme, dalam http/www. Teori Belajar Kostruktivisme.
Diakses Pada hari jum’at, 21
Nopember 2014.
[10]
Margaret E. Bell Gredler, Buku Petunjuk Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta:
Depdiknas, 1988), h. 257.
[11]Ibid. Hal. 259-260.
[12]
John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2007),
h. 390.
[13]
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Profresif, (Jakarta: Kencana
Pranada Media Group, 2009), h. 112.
[14]
Sukardjo & Ukim Komaruddin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 55-56.